Senin, 19 Desember 2011

Tradisi Mitoni di Jawa Dikaji Dalam Perspektif Sosiologi Agama

BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Agama merupakan suatu kepercayaan manusia yang diyakini dalam hati dan disimbolkan dengan berbagai tindakan yang berhubungan langsung kepada sang Pencipta, dan hubungan itu tak bersyarat dan tanpa batas. Agama adalah suatu kekekalan yang abadi oleh masing-masing individu. Manusia mempercayai bahwa agama akan menjawab segala macam pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh akal manusia.  Tidak terlepas dari pengertian agama secara umum, setiap agama memiliki cara pandang dan peribadatan yang berbeda antara agama satu dengan yang lain. Tidak terkecuali agama islam, yang konon banyak sekali memiliki berbagai ritual keagamaan yang sangat unik dan menarik. Agama islam sendiri setiap daerah memiliki cara peribadatan yang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Tak terlepas dari letak geografis Indonesia yang sangat luas dan memiliki berbagai macam budaya,suku,pola hidup dan lain-lain.

 Agama islam mengalami perubahan terhadap ritual yang dilakukan masyarakat karena adanya pengaruh budaya Indonesia. Jika dalam suatu masyarakat memiliki budaya lokal yang khas maka secara tidak langsung agama yang dianut oleh masyarakat setempat akan selalu dikaitkan dengan berbagai ritual yang dilakukan. Agama, budaya dan masyarakat akan selalu berjalan beriringan sesuai dengan apa yang di interpretasikan masyarakat bahwa budaya dan agama adalah satu kesatuan yang tidak akan pernah terpisahkan.
Berbagai pemahaman antara budaya dan agama selalu dikaitkan dengan ritual yang ada dimasyarakat seperti halnya siklus kehidupan manusia sejak dalam kandungan hingga kematian. Islam yang tersebar di jawa selalu mengaitkan antara islam dengan kebudayaan local setempat. Secara gambling dijelaskan bahwa siklus kehidupan selalu dimaknai dengan keselamatan yang bertujuan agar calon jabang bayi diberi keselamatan. Jika dikaitkan dengan syariat agama yang sebagian besar dianut oleh masyarakat jawa yaitu islam, budaya jawa akan sedikit mengalami pergesaran yang semula murni turunan atau penyebaran islam arab. Pada siklus kehidupan manusia ada berbagai ritual yang dijalankan oleh masyarakat jawa salah satunya adalah “mitoni” dengan istilah lain upacara 7 bulan. Upacara mitoni ini merupakan suatu adat kebiasaan atau suatu upacara yang dilakukan pada bulan ke-7 masa kehamilan pertama seorang perempuan dengan tujuan agar embrio dalam kandungan dan ibu yang mengandung senantiasa memperoleh keselamatan.
Ritual atau upacara mitoni sering dikaitkan dengan agama islam, maksudnya disini adalah bahwa agama islam memperbolehkan ritual agama seperti upacara untuk siklus kehidupan manusia seperti mitoni dengan syarat tidak berlebihan. Jika dikaitkan dengan budaya jawa siklus kehidupan manusia merupakan suatu adat yang harus dilaksanankan bagi setiap individu agar mencapai suatu keselamatan dan keseimbangan antara alam dan pikiran. Jika ditarik benang merah upacara atau ritual mitoni merupakan bentuk penyesuaian solidaritas antar kelompok yang didasari antara kebudayaan dan agama. Karena fungsi dari ritual bagi masyarakat itu sendiri adalah sebagai kohevisitas antar kelompok agar identitas mereka terjaga dan lestari


1.2 Rumusan Masalah
            Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dikaji sebagai berikut :
            1. Bagaimana gambaran umum tradisi mitoni yang ada di Jawa?
            2. Bagaimana kaitan agama dengan tradisi mitoni di Jawa?

1.3 Tujuan
            Dalam penelitian ini, tujuan yang ingin dicapai adalah mengetahui tentang :
1. Untuk mengetahui gambaran gambaran umum tradisi mitoni yang ada di Jawa
            2. Untuk mengetahui kaitan agama dengan tradisi mitoni di Jawa



BAB II
PEMBAHASAN


A. Gambaran umum tradisi mitoni di Jawa
Dalam tradisi Jawa, mitoni merupakan rangkaian upacara siklus hidup yang sampai saat ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa. Kata mitoni berasal dari kata ‘am’ (awalan am menunjukkan kata kerja) + ’7′ (pitu) yang berarti suatu kegiatan yang dilakukan pada hitungan ke-7. Upacara mitoni ini merupakan suatu adat kebiasaan atau suatu upacara yang dilakukan pada bulan ke-7 masa kehamilan pertama seorang perempuan dengan tujuan agar embrio dalam kandungan dan ibu yang mengandung senantiasa memperoleh keselamatan.
Upacara-upacara yang dilakukan dalam masa kehamilan, yaitu siraman, memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain calon ibu oleh sang suami, ganti busana, memasukkan kelapa gading muda, memutus lawe/lilitan benang/janur, memecahkan periuk dan gayung, minum jamu sorongan, dan nyolong endhog, pada hakekatnya ialah upacara peralihan yang dipercaya sebagai sarana untuk menghilangkan petaka, yaitu semacam inisiasi yang menunjukkan bahwa upacara-upacara itu merupakan penghayatan unsur-unsur kepercayaan lama. Selain itu, terdapat suatu aspek solidaritas primordial terutama adalah adat istiadat yang secara turun temurun dilestarikan oleh kelompok sosialnya. Mengabaikan adat istiadat akan mengakibatkan celaan dan nama buruk bagi keluarga yang bersangkutan di mata kelompok sosial masyarakatnya.
Mitoni tidak dapat diselenggarakan sewaktu-waktu, biasanya memilih hari yang dianggap baik untuk menyelenggarakan upacara mitoni. Hari baik untuk upacara mitoni adalah hari Selasa (Senin siang sampai malam) atau Sabtu (Jumat siang sampai malam) dan diselenggarakan pada waktu siang atau sore hari. Sedangkan tempat untuk menyelenggarakan upacara biasanya dipilih di depan suatu tempat yang biasa disebut dengan pasren, yaitu senthong tengah. Pasren erat sekali dengan kaum petani sebagai tempat untuk memuja Dewi Sri, dewi padi. Karena kebanyakan masyarakat sekarang tidak mempunyai senthong, maka upacara mitoni biasanya diselenggarakan di ruang keluarga atau ruang yang mempunyai luas yang cukup untuk menyelenggarakan upacara.
Secara teknis, penyelenggaraan upacara ini dilaksanakan oleh dukun atau anggota keluarga yang dianggap sebagai yang tertua. Kehadiran dukun ini lebih bersifat seremonial, dalam arti mempersiapkan dan melaksanakan upacara-upacara kehamilan. Serangkaian upacara yang diselenggarakan pada upacara mitoni adalah:
1. Siraman atau mandi merupakan simbol upacara sebagai pernyataan tanda pembersihan diri, baik fisik maupun jiwa. Pembersihan secara simbolis ini bertujuan membebaskan calon ibu dari dosa-dosa sehingga kalau kelak si calon ibu melahirkan anak tidak mempunyai beban moral sehingga proses kelahirannya menjadi lancar. Upacara siraman dilakukan di kamar mandi dan dipimpin oleh dukun atau anggota keluarga yang dianggap sebagai yang tertua.
2. Upacara memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain (sarung) si calon ibu oleh sang suami melalui perut dari atas perut lalu telur dilepas sehingga pecah. Upacara ini dilaksanakan di tempat siraman (kamar mandi) sebagai simbol harapan agar bayi lahir dengan mudah tanpa aral melintang.
3. Upacara brojolan atau memasukkan sepasang kelapa gading muda yang telah digambari Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra ke dalam sarung dari atas perut calon ibu ke bawah. Makna simbolis dari upacara ini adalah agar kelak bayi lahir dengan mudah tanpa kesulitan. Upacara brojolan dilakukan di depan senthong tengah atau pasren oleh nenek calon bayi (ibu dari ibu si bayi) dan diterima oleh nenek besan. Kedua kelapa itu lalu ditidurkan di atas tempat tidur layaknya menidurkan bayi. Secara simbolis gambar Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra melambangkan kalau si bayi lahir akan elok rupawan dan memiliki sifat-sifat luhur seperti tokoh yang digambarkan tersebut. Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra merupakan tokoh ideal orang Jawa.
4. Upacara ganti busana dilakukan dengan jenis kain sebanyak 7 (tujuh) buah dengan motif kain yang berbeda. Motif kain dan kemben yang akan dipakai dipilih yang terbaik dengan harapan agar kelak si bayi juga memiliki kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang kain. Motif kain tersebut adalah: 1. sidomukti (melambangkan kebahagiaan), 2. sidoluhur (melambangkan kemuliaan), 3. truntum (melambangkan agar nilai-nilai kebaikan selalu dipegang teguh), 4. parangkusuma (melambangkan perjuangan untuk tetap hidup), 5. semen rama (melambangkan agar cinta kedua orangtua yang sebentar lagi menjadi bapak-ibu tetap bertahan selma-lamanya/tidak terceraikan), 6. udan riris (melambangkan harapan agar kehadiran dalam masyarakat anak yang akan lahir selalu menyenangkan), 7. cakar ayam (melambangkan agar anak yang akan lahir kelak dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya). Kain terakhir yang tercocok adalah kain dari bahan lurik bermotif lasem dengan kemben motif dringin. Upacara ini dilakukan di senthong tengah.
5. Upacara memutus lilitan janur/lawe yang dilingkarkan di perut calon ibu. Janur/lawe dapat diganti dengan daun kelapa atau janur. Lilitan ini harus diputus oleh calon ayah dengan maksud agar kelahiran bayi lancar.
6. Upacara memecahkan periuk dan gayung yang terbuat dari tempurung kelapa (siwur). Maksudnya adalah memberi sawab (doa dan puji keselamatan) agar nanti kalau si ibu masih mengandung lagi, kelahirannya juga tetap mudah.
7. Upacara minum jamu sorongan, melambangkan agar anak yang dikandung itu akan mudah dilahirkan seperti didorong (disurung).
8. Upacara nyolong endhog, melambangkan agar kelahiran anak cepat dan lancar secepat pencuri yang lari membawa curiannya. Upacara ini dilaksanakan oleh calon ayah dengan mengambil telur dan membawanya lari dengan cepat mengelilingi kampung.
Dengan dilaksanakannya seluruh upacara tersebut di atas, upacara mitoni dianggap selesai ditandai dengan doa yang dipimpin oleh dukun dengan mengelilingi selamatan. Selamatan atau sesajian sebagian dibawa pulang oleh yang menghadiri atau meramaikan upacara tersebut.

Lambang atau makna yang terkandung dalam unsur upacara mitoni
Upacara-upacara mitoni, yaitu upacara yang diselenggarakan ketika kandungan dalam usia tujuh bulan, memiliki simbol-simbol atau makna atau lambang yang dapat ditafsirkan sebagai berikut:
·            Sajen tumpeng, maknanya adalah pemujaan (memule) pada arwah leluhur yang sudah tiada. Para leluhur setelah tiada bertempat tinggal di tempat yang tinggi, di gunung-gunung.
·            Sajen jenang abang, jenang putih, melambangkan benih pria dan wanita yang bersatu dalam wujud bayi yang akan lahir.
·            Sajen berupa sega gudangan, mengandung makna agar calon bayi selalu dalam keadaan segar.
·            Cengkir gading (kelapa muda yang berwarna kuning), yang diberi gambar Kamajaya dan Dewi Ratih, mempunyai makna agar kelak kalau bayi lahir lelaki akan tampan dan mempunyai sifat luhur Kamajaya. Kalau bayi lahir perempuan akan secantik dan mempunyai sifat-sifat seluhur Dewi Ratih.
·            Benang lawe atau daun kelapa muda yang disebut janur yang dipotong, maknanya adalah mematahkan segala bencana yang menghadang kelahiran bayi.
·            Kain dalam tujuh motif melambangkan kebaikan yang diharapkan bagi ibu yang mengandung tujuh bulan dan bagi si anak kelak kalau sudah lahir.
·            Sajen dhawet mempunyai makna agar kelak bayiyang sedang dikandung mudah kelahirannya.
·            Sajen berupa telur yang nantinya dipecah mengandung makna berupa ramalan, bahwa kalau telur pecah maka bayi yang lahir perempuan, bila telur tidak pecah maka bayi yang lahir nantinya adalah laki-laki.

B.  Kaitan agama dengan tradisi mitoni di Jawa
Agama  merupakan suatu upaya yang digunakan untuk menyembah ilahi  yang dipercayai dapat memberikan keselamatan serta kesejahteraan hidup dan kehidupan kepada manausia,yang mana dilakukan dengan berbeda cara dengan berbagai ritus secara pribadi dan bersama yang ditujukan pada ilahi.
Adapun ciri utama agama adalah :
1.      Pada setiap agama mempunyai sasaran atau tujuan penyembahan atau Sesuatu Yang Ilahi dan disembah. Ia bisa disebut TUHAN, Allah, God, Dewa, El, Ilah, El-ilah, Lamatu’ak, Debata, Gusti Pangeran, Deo, Theos atau penyebutan lain sesuai dengan konteks dan bahasa masyarakat (bahasa-bahasa rakyat) yang menyembah-Nya. Penyebutan tersebut dilakukan karena manusia percaya bahwa Ia yang disembah adalah Pribadi yang benar-benar ada; kemudian diikuti memberi hormat dan setia kepada-Nya. Jadi, jika ada ratusan komunitas bangsa, suku, dan sub-suku di dunia dengan bahasanya masing-masing, maka nama Ilahi yang mereka sembah pun berbeda satu sama lain. Nama yang berbeda itu pun, biasanya diikuti dengan pencitraan atau penggambaran Yang Ilahi sesuai sikon berpikir manusia yang menyembahnya. Dalam keterbatasan berpikirnya, manusia melakukan pencitraan dan penggambaran Ilahi berupa patung, gambar, bahkan wilayah atau lokasi tertentu yang dipercayai sebagai tempat tinggal. Jadi, kaum agama tidak bisa mengklaim bahwa mereka paling benar menyebut Ilahi yang disembah. Sehingga nama-nama lain di luarnya adalah bukan Ilahi yang patut disembah dan dipercayai atau diimani.
2.      Pada setiap agama ada keterikatan kuat antara yang menyembah (manusia) dan yang disembah atau Ilahi. Ikatan itu menjadikan yang menyembah (manusia, umat) mempunyai keyakinan tentang keberadaan Ilahi. Keyakinan itu dibuktikan dengan berbagai tindakan nyata (misalnya, doa, ibadah, amal, perbuatan baik, moral, dan lain-lain) bahwa ia adalah umat sang Ilahi. Hal itu berlanjut, umat membuktikan bahwa ia atau mereka beragama dengan cara menjalankan ajaran-ajaran agamanya. Ia harus melakukan doa-doa; mampu menaikkan puji-pujian kepada TUHAN yang ia sembah; bersedia melakukan tindakan-tindakan yang menunjukkan perhatian kepada orang lain dengan cara berbuat baik, sedekah, dan lain sebagainya.
3.      Pada umumnya, setiap agama ada sumber ajaran utama (yang tertulis maupun tidak tidak tertulis). Ajaran-ajaran tersebut antara lain: siapa Sang Ilahi yang disembah umat beragama; dunia; manusia; hidup setelah kematian; hubungan antar manusia; kutuk dan berkat; hidup dan kehidupan moral serta hal-hal (dan peraturan-peraturan) etis untuk para penganutnya. Melalui ajaran-ajaran tersebut manusia atau umat beragama mengenal Ilahi sesuai dengan sikonnya sehari-hari; sekaligus mempunyai hubungan yang baik dengan sesama serta lingkungan hidup dan kehidupannya.
4.      Ajaran-ajaran agama dan keagamaan tersebut, pada awalnya hanya merupakan uraian atau kalimat-kalimat singkat yang ada pada Kitab Suci. Dalam perkembangan kemudian, para pemimpin agama mengembangkannya menjadi suatu sistem ajaran, yang bisa saja menjadi suatu kerumitan untuk umatnya; dan bukan membawa kemudahan agar umat mudah menyembah Ilahi.
5.      Secara tradisionil, umumnya, pada setiap agama mempunyai ciri-ciri spesifik ataupun berbeda dengan yang lain. Misalnya,
·            pada setiap agama ada pendiri utama atau pembawa ajaran; Ia bisa saja disebut sebagai nabi atau rasul, guru, ataupun juruselamat
·            agama harus mempunyai umat atau pemeluk, yaitu manusia; artinya harus ada manusia yang menganut, mengembangkan, menyebarkan agama
·            agama juga mempunyai sumber ajaran, terutama yang tertulis, dan sering disebut Kitab Suci; bahasa Kitab Suci biasanya sesuai bahasa asal sang pendiri atau pembawa utama agama
·            agama harus mempunyai waktu tertentu agar umatnya melaksanakan ibadah bersama, ternasuk hari-hari raya keagamaan
·            agama perlu mempunyai lokasi atau tempat yang khusus untuk melakukan ibadah; lokasi ini bisa di puncak gunung, lembah, gedung, dan seterusnya
Agama ini juga memiliki fungsi bagi pemeluknya yaitu :
1.            Sumber pedoman hidup bagi individu maupun kelompok
2.            Mengatur tata cara hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia.
3.            Merupakan tuntutan tentang prinsip benar atau salah
4.            Pedoman mengungkapkan rasa kebersamaan
5.            Pedoman perasaan keyakinan
6.            Pedoman keberadaan
7.            Pengungkapan estetika (keindahan)
8.            Pedoman rekreasi dan hiburan
9.            Memberikan identitas kepada manusia sebagai umat dari suatu agama.
1.      Setiap orang memiliki cara beragama yang berbeda-beda pula,untuk itu disini dibagi empat cara beragama: Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara
2.      Beragamanya nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau pembaharuan. Apalagi bertukar agama, bahkan tidak ada minat. Dengan demikian kurang dalam meningkatkan ilmu amal keagamaanya.
3.      Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar agama jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya.
4.      Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun.
5.      Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan) dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.
Sedangkan kebudayaan adalah suatu tata cara hidup sekelompok manusia yang menyangkut atau menghasilkan :
1.      Kebiasaan
2.      Kepercayaan
3.      Keyakinan
4.      Pedoman-pedoman
5.      Mental
6.      Ahlak
7.      Kejiwaan
8.      Rituil-rituil / Upacara-upacara
9.      Adat
10.  Ikatan
11.  Kekuatan spiritual dll.
Kesemuanya ini dipupuk sedikit demi sedikit dari tatacara hidup para leluhur di sekelompok masyarakat pada suatu daerah / negeri. Perpaduan antara 2 masyarakat yang berlainan kebudayaan menimbulkan pengaruh terhadap kebudayaan yang telah ada dan lahirlah suatu kebudayaan komposisi baru. Perubahan ini berlaku dari masa kemasa. Hal-hal yang mempengaruhi kebudayaan terdiri atas perbagai faktor antara lain :
1.            Perkembangan teknologi (phenomena-phenomena)
2.            Perobahan cara hidup.
3.            Pengaruh materi
4.            Pengaruh lingkungan
5.            Kesenian
6.            Pendidikan
7.            Perjuangan / persaingan antara bangsa (perang)
8.            Perobahan mental sebab teknologi.
9.            Kepadatan penduduk.
10.        Pengaruh-pengaruh alam setempat (iklim, daerah tandus, pegunungan, air dan lain-lain.
11.        Dan masih banyak faktor-faktor lain.

Jadi agama itu muncul dari pemikiran manusia akan Tuhan dan muncullah suatu agama.Agama dan budaya ini tidak bias dipisahkan satu sama lain kedua hal ini saling berkaitan
Agama, Budaya dan Masyarakat jelas tidak akan berdiri sendiri, ketiganya memiliki hubungan yang sangat erat dalam dialektikanya; selaras dalam menciptakan ataupun kemudian saling menegasikan. Proses dialektika yang berjalan menurut Berger, dialami agama dengan tiga bentuk. Pertama, energi eksternalisasi yang dimiliki individu dalam bermasyarakat kemudian membentuk sebuah bentuk kedua, Objektivasi atas kreasi manusia dan akhirnya berputar kembali dalam bentuk ketiga, dengan arus informasi yang menginternalisasi kedalam individu-individu. Dalam dialektika ini, bukan berarti stagnan. Hasil eksternalisasi yang ter-Objektivikasi selalu mengalami perkembangan, manusia tidak pernah puas atas hasil yang telah dicapai. Dalam pandangan yang Idealis atu perspektif, manusia memiliki pengandaian yang normatif yang selalu tidak berhenti dengan satu ciptaan. Ketidak terjebakan manusia dalam imanensi dan selalu berhadapan dengan keabsurdan membuat manusia dan Agama yang juga berada dalam dialektika ini– akhirnya bersifat dinamis. Begitu juga budaya, proses dialektika yang dialami bersama Agama tidaklah jauh berbeda bahkan sama. Tiga bentuk; Eksternalisasi, Objektivikasi dan Internalisasi juga merupakan proses bagaimana budaya terbentuk dan bagaimana ia berhubungan dengan Agama.
Dengan kaitanya yang dibahas pada makalah ini agama tidak dapat dipisahkan dengan budaya,didalam agama pasti terbangun kebudayaan dan didalam budaya terdapat suatu agama di dalamnya yang ini keduanya sama tujuan yaitu ingin mencari keselamatan.
Bisa dilihat melalui contoh kasus dibawah ini misalnya saja tradisi mitoni yang ini memiliki tata cara urutan ritual yang mana terdapat prosesi yang dilaksanakan sesuai dengan kebudayaan masyarakat selain itu pada saat prosesi siraman terdapat doa-doa yang dipanjatkan oleh dukun yang ditunujuk sebagi peap mimpin upacara tersebut,selain itu juga ada prosesi memecahkan kelapa yang sudah ada gambar tokoh pewayangan yang nanti akan dipecah oleh pihak calon ayah apabila yang dipecah gambar pewayangan laki-laki maka kelak yang akan dilahirkan anak laki-laki dan apabila proses pemecahannya cepat maka proses kelahirannya juga akan lancar. Yang ini adalah merupakan usaha orang Jawa untuk mendapatkan keselamatan tetapi dengan menggunakan ritual seperti itu,selian itu juga pada proses kenduri atau bancakaan tumpengnya juga terdapat seorang pemuka agama atau modin yang juga membaca kan doa untuk keselamtan ibu dan anaknya kelak saat dilahirkan.
Ini semua dilakukan guna memperoleh keselamatan,karena semua yang terjadi di dunia ini tidak dapart ditebaak untuk itu mereka melakukan kegiatan ini guna agra memperoleh keselatan. Dan ritual yang dipakia ini selain merupakan kebudayaaan mereka yang kadang tidak setiap daerah ditemukan ini tetapi dalam budaya ini tetap memasukan unsure-unsur agama didalamnya untuk mengucap syukur kpeada Tuhan.



BAB III
PENUTUP

            Simpulan
Agama merupakan suatu kepercayaan manusia yang diyakini dalam hati dan disimbolkan dengan berbagai tindakan yang berhubungan langsung kepada sang Pencipta, dan hubungan itu tak bersyarat dan tanpa batas. Agama, budaya dan masyarakat akan selalu berjalan beriringan sesuai dengan apa yang di interpretasikan masyarakat bahwa budaya dan agama adalah satu kesatuan yang tidak akan pernah terpisahkan.
Jika dikaitkan dengan budaya jawa siklus kehidupan manusia merupakan suatu adat yang harus dilaksanankan bagi setiap individu agar mencapai suatu keselamatan dan keseimbangan antara alam dan pikiran. Jika ditarik benang merah upacara atau ritual mitoni merupakan bentuk penyesuaian solidaritas antar kelompok yang didasari antara kebudayaan dan agama. Karena fungsi dari ritual bagi masyarakat itu sendiri adalah sebagai kohevisitas antar kelompok agar identitas mereka terjaga dan lestari







Tidak ada komentar:

Posting Komentar