Senin, 12 Desember 2011

Permasalahan Pendidikan

 
Latar Belakang Pemilihan Masalah
1.      Dilematika pendidikan sekulerisme-materialistik dengan pendidikan berbasic agama
Akhir akhir ini kita sering sekali menemukan perilaku-perilaku masyarakat yang menyimpang, baik dari kalangan bawah hingga pada kalangan atas. Apabila kalangan bawah melakukan tindakan menyimpang, mungkin hal tersebut masih bisa dimaklumi karena mungkin saja orang tersebut memang tidak pernah mengenyam jenjang pendidikan. Namun apabila sekarang yang melakukan tindakan menyimpang adalah kalangan atas yang notabene adalah para sarjana-sarjana yang telah mengenyam pendidikan dirasa sangat disayangkan. Karena sangat diharapkan masyarakat yang berpendidikan memiliki kepribadian yang baik pula, kaitannya dengan moralitas. Di sinilah letak kelemahan dari system pendidikan yang sekulerisme-materialistik yang mengedepankan pendidikan sains IPTEK sehingga mampu bersaing di dunia sains dan n IPTEK, akan tetapi hal-hal yang kaitannya dengan moralitas tidak ada implementasinya sama sekali. Di sisi lain pendidikan yang berbasic agama memiliki kemampuan moralitas yang baik. Masalah moralitas sangat dijunjung tinggi dalam dunia pendidikan ini, sehingga diharapkan setiap masyarakat mempunyai kepribadian yang baik. Dalam system pendidikan berbasic agama juga diterapkan pendidikan sains dan IPTEK namun, tidak terlalu dikedepankan. Prioritas utamanya adalah pendidikan berbasic agama kaitannya dengan moralitas dan kepribadian manusia yang baik.




2.      persepsi negatif masyarakat terhadap pendidikan di Indonesia dengan pemeo "ganti menteri ganti kebijakan
banyak kebijakan berganti tanpa di evaluasi terlebih dahulu, Dulu ada sistem cara belajar siswa aktif (CBSA), link and match, di masa reformasi muncul konsep setengah matang seperti munculnya Kurikulum Berbasis Kompetensi, manajemen berbasis sekolah, lifeskill, komite sekolah dan dewan pendidikan yang membingungkan.memang perubahan itu dilakukan untuk penyempurnaan dan bersifat konstruktif,akan tetapi harus ada perencanaan terlebih dahulu dengan mempertimbangkan evaluasi system belajar sebelumnya,agar kekurangannya bisa terlihat tanpa harus mengganti atau merubah secara menyeluruh yang notabene itu hanya akan menambah permasalahan baru dalam pendidikan. mengurai benang kusut pendidikan perlu dimulai dari memahami falsafah pendidikan. Falsafah pendidikan itu yang nantinya menjadi dasar sehingga tidak masalah dengan pergantian kepemimpinan atau kebijakan
3.      diskriminasi dalam dunia pendidikan
"Mendiknas berpesan agar prinsip pendidikan di Indonesia sekarang ini adalah tanpa adanya diskriminasi. Jadi semua anak atau siswa baik yang normal maupun yang memiliki kebutuhan khusus berhak memiliki akses yang sama, baik dari fasilitas maupun pengajaran," kutipnya. (Cak arif walikota Surabaya)
Meski banyak seruan tidak ada diskriminasi dalam bidang pendidikan,namun kenyataannya diskriminasi dalam bidang pendidikan masih ada dan terlihat sangat jelas,contoh kasus yaitu Beberapa waktu yang lalu ada calon siswa yang dinyatakan tidak dapat diterima di sebuah sekolah karena menderita cacat fisik. Padahal dari hasil tes masuk, si calon siswa mendapatkan nilai yang cukup tinggi dan kecacatannya tidak mengganggu aktivitas belajar si anak. Kasus ini mencuat dan memicu demonstrasi dan pemberitaan di media massa. Begitu banyak pihak yang peduli dengan kasus diskriminasi ini.
Diskriminasi seperti yang terjadi di Palangkaraya pada kasus di atas, hanyalah satu dari sekian banyak macam diskriminasi yang dialami oleh siswa sekolah dalam dunia pendidikan. Akan tetapi tidak banyak masyarakat yang peduli dengan diskriminasi yang lain karena masyarakat menganggap itu adalah hal yang wajar.selanjutnya
Di Pangkalan Bun terjadi seorang calon siswa yang sudah berumur tujuh tahun tidak dapat diterima di sebuah sekolah dasar karena tidak lulus tes skolastik. Padahal ada calon siswa yang berumur lebih muda akan tetapi diterima di sekolah tersebut karena lulus tes skolastik. Padahal dalam pelaksanaan wajib belajar di Indonesia, seleksi penerimaan siswa baru sekolah dasar didasarkan pada usia anak. Apakah ini hanya berlaku khusus pada sekolah tertentu. Tentu tidak bijak kalau sekolah lain tidak boleh memberlalukan hal yang sama. Ini tentu merupakan sebuah diskriminasi juga walaupun kemudian akan ada pihak yang berkelit bahwa sekolah dasar tersebut adalah sekolah pavorit dan sekolah percontohan. Kemudian masyarakat diam dan memakluminya.
Kalau kita mau jeli, sebenarnya pendirian sekolah percontohan, sekolah model, atau sekolah unggulan sebenarnya merupakan sebuah perlakuan diskriminasi oleh pemerintah dan dinas pendidikan. Ini dapat dilihat dari berlimpahnya fasilitas sekolah unggulan yang terletak di pusat-pusat kota saja. Pertanyaannya sekarang adalah mengapa pemerintah hanya memperhatikan kelengkapan sarana dan prasarana hanya untuk beberapa sekolah saja. Apakah sekolah lain tidak bisa menjadi sekolah seperti itu. Bagaimana diskriminasi ini terjadi dan nyata jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah di pinggiran. Sekolah dengan fasilitas yang seadanya dengan gedung kelas yang hampir roboh yang banyak diberitakan di media massa.
Diskriminasi pendidikan dalam bentuk lain adalah pembagian kelas menjadi kelas untuk siswa berprestasi akademik tinggi dan kelas dengan siswa dengan prestasi akademik rata-rata. Sekolah yang menciptakan diskriminasi semacam ini akan menciptakan proses belajar yang diskriminan. Ini terjadi karena guru merasa nyaman mengajar di kelas unggulan dan merasa terbebani jika mengajar di kelas reguler. Akibat berikutnya, guru juga akan memberi perhatian lebih kepada siswa di kelas unggulan.
Efek psikologis bagi siswa yang duduk di kelas reguler adalah merasa rendah diri, sedangkan pada siswa yang duduk di kelas unggulan akan merasa sombong. Lebih berbahaya lagi jika ketika naik kelas, keadaan semacam ini terus dipertahankan. Dari segi kontak sosial, siswa dengan siswa dari kelas lain akan semakin jauh, tidak saling mengenal, walaupun sekolah di sekolah yang sama. Ini akan berbahaya jika kemudian tertanam pada diri anak bahwa manusia ternyata berbeda. Dia akan bersikap diskriminatif juga terhadap orang lain. Siswa juga akan mejadi sulit menerima kehadiran orang asing dan sulit menerima perbedaan. Ini merupakan bibit konflik seperti yang cukup banyak terjadi di Indonesia.
Kalau ada pejabat yang mengatakan bahwa membina satu sekolah unggulan lebih baik daripada membangun seluruh sekolah supaya menjadi unggul adalah cara pandang yang picik. Tidak ada teori yang mengatakan bahwa siswa dari pusat pemerintahan lebih unggul dibanding siswa dari daerah pinggiran. Bahkan peserta olimpiade sain cukup banyak yang datang dari daerah.
Kita bisa melihat, bagaimana pemerintah mendiskriminasikan juga untuk anak-anak di daerah yang jumlah peserta didiknya sedikit dengan memberikan bantuan jumlah guru yang sedikit juga. Padahal kita tahu, untuk tingkat SMP dan SMA, guru mata pelajaran tidak mungkin mengajarkan materi pelajaran yang bukan merupakan keahliannya. Guru juga tidak mungkin dipaksa untuk bekerja tanpa istirahat karena harus mengajar pada kelas yang jumlahnya terlalu banyak.
4.      Beban ganda guru yang mengajar dua mata pelajaran atau lebih yang berakibat kurang maksimalnya kinerja guru dalam proses belajar mengajar
Dewasa ini guru adalah aktor yang sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan, mengingat saat ini dunia pendidikan kurang sekali tenaga pendidik seperti guru. Sehingga untuk mengatasi masalah tersebut, pihak sekolah biasanya menyiasati permasalahan tersebut dengan memberikan beban mengajar ganda kepada guru mata pelajaran lain yang dirasa mungkin dapat menguasai mata pelajaran tersebut.
Padahal, sesungguhnya beban mengajar ganda ini membuat guru sangat tidak maksimal dalam proses belajar mengajar. Sebagai contoh adalah tugas seorang guru yang background pendidikannya adalah sebagai guru biologi, karena guru tersebut dirasa mempunyai kelebiha dalam mata pelajaran seni music, maka guru tersebut ditugasi oleh pihak sekolah untuk sekalian mengajar mata pelajaran seni music. Hal ini sangatlah tidak singkron, karena basic seorang guru yang mengajar pelajaran ipa yang digambarkan sebagai mata pelajaran yang butuh konsentrasi, sedangkan guru mata pelajaran seni music yang digambarkan sebagai guru yang dapat mengekspresikan hatinya lewat lagu karena guru tersebut memang diajarkan untuk berekspresi. Sehingga dari sini telah terlihat ketidak singkronan antara kedua mata pelajaran tersebut. selain itu juga beban mengajar ganda yang diberikan kepada guru juga memberikan beban yang memberatkan guru karena guru tidak hanya menopang satu beban mata pelajaran saja, seperti silabus, rpp, dan perangkat guru lain yang seharusnya guru hanya membuat satu mata pelajaran, karena mengajar dua mata pelajaran sehingga membuat dua perangkat pembelajaran sekaligus. Belum lagi, apabila guru memberikan evaluasi berupa tes tertulis, yang seharusnya guru hanya membuat satu evaluasi pembelajaran, karena beban mengajar ganda sehingga guru juga mau tidak mau membuat evaluasi pembelajaran ganda juga. Itulah sebagian contoh mengapa kami menganggap bahwa maslah ini penting untuk dipermasalahkan karena hal ini menyangkut ketidak profesionalan guru mata pelajaran dalam proses belajar mengajar yang pada akhirnya berujung pada output siswa yang dihasilkan.
Pendidikan karakter yang gagal       Anik rahmawati
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Indonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran yang sangat penting.
Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat.
Namun dalam kenyataanya, apabila melihat realitas di masyarakat hal tersebut belum sepenuhnya teralisasi, atau bahkan belum tercapai tujuan pendidikan karakter pada khususya. Hal ini dapat terlihat dalam demo-demo di beberapa perguruan tinggi, tragedi priok,permusuhan antara satu kelompok dengan kelompok, etnis dengan etnis menandakan pendidikan karakter ini belum berhasil.

 

Sekolah alternative kurang perhatian dari pemerintah
Sekolah alternative merupakan salah satu contoh sekolah nonformal yang didirikan oleh swadana individu ataupun yayasan yang perduli masalah social di Indonesia. Sekolah alternative ini sangat berbeda dengan sekolah formal lainnya yan berada langsung dibawah naungan dinas pendidikan. Berbeda dengan sekolah formal, proses belajar mengajar pada sekolah ini dilakukan di semabarang tempat yang memungkinkan proses belajar mengajar dapat berlangsung, contohnya di pinggiran sungai, di bawah jembatan, ataupun di daerah tempat pembuangan sampah. Selain itu, sekolah alternative ini merupakan sekolah yang didirikan dan dibiayai oleh sumbangan dana pribadi untuk mengajarkan ilmu kepada anak anak yang terpinggirkan dalam pendidikan. Guru yang mengajarpun bukanlah guru yang biasanya dibiayai oleh permerintah, namun guru tersebut juga guru yang rela menyumbangkan ilmu tanpa pamrih untuk meningkatkan pendidikan anak anak yang terpinggirkan.
Namun, proses belajar mengajar ini tidak dapat berjalan lancar seperti halnya sekolah formal lainnya, mengingat tempat PBM yang kurang strategis, biaya yang kurang memadahi, serta sarana prasarana yang kurang menunjang proses belajar mengajar. Sehingga seharusnya pemerintah kritis terhadap situasi dan kondisi seperti ini, dan selanjutnya untuk dapat menindak lanjuti dan kemudian mencari solusinya. Namun pada kenyatannya, hal ini sangat berbanding terbalik, karena pemerintah seakan-akan memandang hanya sebelah mata tentang pendidikan alternative ini, bahkan tidak mau tau dengan hal semacam ini. Tentu saja hal ini sangat memprihatinkan, mengingat anak-anak di Indonesia yang masih butu pendidikan sangatlah banyak, yang tidak dapat bersekolah karena banyak alasan.


Kesejahteraan GTT ( guru tidak tetap )
Dunia pendidikan di Indonesia mengalami beberapa permasalahan yang sangat kompleks. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan di Indonesia antara lain rendahnya sarana fisik,  Rendahnya kualitas guru, Rendahnya kesejahteraan guru, Rendahnya prestasi siswa, Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan, Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,serta Mahalnya biaya pendidikan. Guru sebagai pengajar sekaligus pendidik menjadi figur sentral bagi peserta didik sehingga guru dituntut untuk bersikap professional. s

Rendahnya kesejahteraan guru berpengaruh terhadap rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).



5 komentar:

  1. permasalahan pendidikan memang semakin komplek,butuh solusi yang bijak dari pemerintah dan masyarakat untuk saling bersinergi dalam membentuk dan menciptakan pendidikan yang baik,,
    ^_^

    BalasHapus
  2. ga hanya pemerintah dan masyarakat mas, tapi kita calon pendidik juga harus ikut ambil bagian untuk menyelesaikan masalah pendidikan...:)

    BalasHapus
  3. posting ters yah,, tentang imu sosiologi dan perkembangannya,,,

    BalasHapus
  4. permasalahan pendidikan menyangkut masalah-masalah yang lain juga, untuk menyelesaikannya juga saling berkaitan dengan bidang-bidang yang lain, muisalnya ekonomi, sosial, dan bidang lainnya..

    BalasHapus
  5. dengan adanya artikel ini diharapkan mampu membuka kesadaran seluruh pendidik untuk dapat berkomitmen memberikan solusi terbaik dan selalu bekerjasama bukan hanya pemerintah dan masyarakat namun seluruh komponen dalam dunia pendidikan termasuk anak didik.

    BalasHapus